Mahkamah Agung (MA) kembali menuai sorotan tajam usai memberikan potongan hukuman kepada terpidana korupsi e-KTP, Setya Novanto. Dari semula divonis 15 tahun penjara, kini hukuman Novanto dikurangi menjadi hanya 12,5 tahun. Potongan ini diberikan melalui mekanisme Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan eks Ketua DPR RI tersebut.
Center for Budget Analysis (CBA) menilai langkah ini sebagai bentuk nyata bahwa hukum di Indonesia masih bisa “ditawar-menawar” asal pelakunya tokoh besar dengan jejaring kuat. Koordinator CBA, Jajang Nurjaman, menyebut keputusan MA ini sebagai pelecehan terhadap rasa keadilan publik dan bentuk nyata kemunduran dalam agenda pemberantasan korupsi.
“Bayangkan, korupsi triliunan rupiah cukup ditebus dengan diskon 2,5 tahun. Mungkin inilah yang disebut keadilan premium untuk koruptor kelas kakap,” sindir Jajang dalam keterangannya, Jumat (4/7).
Menurut Jajang, pengurangan hukuman ini berpotensi melanggar prinsip-prinsip dasar penegakan hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Lebih lanjut, langkah ini juga bertentangan dengan semangat Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang menjamin kepastian hukum yang adil bagi semua warga negara. Namun kenyataannya, menurut CBA, keadilan itu tampaknya hanya berlaku bagi masyarakat biasa—bukan bagi koruptor elit yang bisa “menegosiasikan” hukum melalui berbagai celah.
Potongan hukuman atas nama “bukti baru” dalam PK, menurut CBA, seharusnya tidak menjadi karpet merah untuk memulangkan koruptor ke rumah lebih cepat. Jika ini terus dibiarkan, maka efek jera terhadap koruptor bisa menguap, dan publik akan semakin apatis terhadap sistem hukum yang dianggap tidak netral.
“Jangan-jangan setelah ini Setya Novanto bisa kembali ke panggung politik, sementara rakyat terus menderita akibat pelayanan publik yang rusak karena korupsi yang ia lakukan,” tambah Jajang.
CBA juga mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk tidak tinggal diam melihat tren pengurangan hukuman semacam ini. Menurut CBA, ini merupakan pukulan telak terhadap semangat pemberantasan korupsi dan membahayakan persepsi publik terhadap supremasi hukum.
“Ini bukan sekadar diskon hukuman, ini adalah preseden berbahaya. Di negara yang masih darurat korupsi, langkah MA ini justru membuka ruang bagi pembusukan sistem hukum dari dalam,” tegasnya.
CBA juga mengingatkan bahwa Pasal 4 UU Tipikor secara tegas menyatakan pengembalian kerugian negara tidak menghapus pidana. Namun, menurut Jajang, logika ini tidak berlaku jika yang dihadapi adalah aktor korupsi kelas berat dengan jejaring kekuasaan. (*)